Padahal diawal turnamen yang berhadiah total 120.000 USD ini digulirkan, Kabid Binpres PBSI Rexy Mainaky menargetkan sapu bersih juara di Indonesia Open GP Gold. Hal ini cukup beralasan karena hampir seluruh atau bahkan 100% penghuni pelatnas (baik senior maupun junior, bahkan mungkin sampai pemain yang hanya menjadi CADANGAN MATI) dan pemain terbaik Indonesia turun di kejuaraan ini. Target ini juga nampaknya cukup realistis mengingat prestasi Tim Bulutangkis Indonesia yang mengalami trend positif.
Hasilnya, Indonesia hanya bisa meraih tiga gelar saja, memang lebih baik dari tahun lalu yang cuma kebagian dua gelar. Namun, hasil ini cukup mengecewakan dikarenakan banyak sekali pemain top eropa, asia yang tidak ambil bagian dalam kejuaraan ini. Begitupun China, yang hanya menurunkan pemain Juniornya yang masih berusia dibawah 20 tahun. Bahkan di nomor ganda putrinya, pasangan kembar siam Ying Luo/Yu Luo hanya urutan 211 dunia BWF, dan pasangan yang satunya lagi malah belum punya ranking sama sekali!
Maka, inilah tantangan PBSI kedepannya, bagaimana mencetak srikandi-srikandi merah putih bulutangkis yang merajai kembali bulutangkis dunia. Kita sudah kalah dari Thailand, Jepang, Korea, India, bahkan negara dengan tradisi bulutangkis yang minim Spanyol. Apalagi China yang sangat kuat dengan sektor Putrinya. Kalau terus berharap pada senior tentu sudah tidak bisa diharapkan lagi. Sosok seperti Lindaweni, Firdasari, Bellaetrix, dan Apirilia, sudah semestinya malang melintang di turnamen Super Series.
Memang sangat sulit membina sektor Putri ini, hal ini dikarenakan stok pemain putri yang cukup minim. Belum lagi kedisiplinan pemain putri kita . Maka wajar saja jika Ketum PBSI membuat sebuah gerakan. Hal ini dimaksudkan agar seluruh masyarakat Indonesia mencintai olahraga ini, semakin banyak anak-anak Indonesia yang bermain bulutangkis, semakin banyak stok pemain yang dimiliki Indonesia. Maka pelatih terbaik kita tidak akan kesulitan memilih dan melatih pemain putri kita.
Maka, ini adalah tantangan kedepan PBSI, ditahun keduanya nanti, bagaimana PBSI menggairahkan kembali sektor Putri, menciptakan Susi Susanti yang baru, Mia Audina yang baru. Kita bisa lihat, Thailand sudah punya Ratchanok Intanon yang berusia 18 tahun sebagai Juara Dunia, India punya Saina Nehwal dan P. V. Sindhu, sementara Japan punya Akane Yamaguchi yang berusia 16 tahun sebagai juara Super Series termuda. Lalu kita?
Saya harap, PBSI mulai meninggalkan para "mentokwati" di nomor WS (Women Single) dan WD (Women Double). Kalah sekli dua kali okelah, tapi kalau sudah kalah terus terusan, itu namanya sudah MENTOK. Ya sudah gitu aja skillnya, mau diapain sampai mati juga tetap gitu. So, harus tegas! Kalau sudah tidak bisa DIPOLES lagi ya DEPAK aja. Ngapain terus disimpan kayak harta karun? Dengar-dengar dari forum badminton Indonesia juga, beberapa atlet putri kita punya hobi jalan-jalan, alias tidak betah tinggal di pelatnas. Mirip si Taufik dulu, tapi Taufik bisa jadi juara meski sifatnya liar/susah diatur.
Lihat China, bahkan pemain yang cidera pun, kalau engga menunjukan perkembangan, meski baru umur 22 tahun ya di tendang. Kecuali si pemain punya darah atlet, kayak papa/mama nya atlet, itu bisa dipertahankan, karena pasti semangatnya tetap ada meski cidera. Sampai sejauh ini saya lihat untuk sektor tunggal dan ganda putri, tidak ada prestasi sama sekali dalam waktu 1 dekade terakhir, seperti memenangkan kejuaraan Super Series Masters (turnamen kelas 1), Super Series (turnamen kelas 2), bahkan sampai ditingkat GPG dan GP (turnamen kelas 3 dan 4). Paling banter hanya finalis, atau semifinalis.
Lalu kenapa di BWF Ranking para pemain tunggal dan ganda putri Indonesia peringkatnya "lumayan" di posisi 20-30 besar? Itu karena mereka rajin turun di kejuaraan atau turnamen-turnamen seperti yang saya sebutkan diatas. Ya, hanya rajin turun, mereka dapat point standar/minimal sebagai partisipasi. Lalu dapat point tambahan kalau melaju ke babak-babak selanjutnya. Tapi mujur aja, karena di babak awal biasanya ketemu ama pemain amatiran, seperti dari Afrika Selatan, Filipina, atau Mexico. Coba awal langsung ketemu ama pemain China atau Korea? So, meski tanpa gelar juara juga, asal rajin ikut kompetisi masih bisa masuk top 20 lah.
Lalu bagaimana seharusnya para pemain tunggal dan ganda putri ini diatur? Kalau saya yang jadi pembuat keputusannya, saya akan kasih waktu 1 tahun untuk mereka berlaga di semua kompetisi dunia yang bisa diikuti. Lalu saya saring, dan hanya 3 orang/pasangan dengan hasil tertinggi/terbaik selama setahun turnamen yang mereka ikut yang dipertahankan. Sisanya silahkan balik klub asal, atau ke kampung halaman, jadi artis, pengusaha, atau lanjut sekolah. Karena sudah tak mungkin lagi mereka dibiayai penuh oleh negara tanpa prestasi. Lalu kenapa disisain 3 orang/pasangan? Ya kan tak mungkin kita copot semua, lalu timnas diisi sama siapa? kucing? tukang pel lapangan? atau mungkin pelatihnya yang kembali berlaga?
Lalu kita fokus ke usia 14-16 tahun dan usia 17-19 tahun. Usia diatas 20 maaf saja, menurut LYB pelatih kepala China, usia segitu tidak ada prestasi, atau minimal tidak ada "skill" yang dapat dibanggakan, mending berhenti aja, karena sudah terlambat. Usia prestasi badminton level senior itu 21-26 tahun. Bukan sepak bola, usia 34 masih bagus kayak Didier Drogba. Begitupun dengan usia dibawah 14 tahun, takutnya anak-anak masih labil gitu mentalnya. Selain itu, usia 14 tahun itu, paling tidak sudah selesai SMP, ea, paling tidak kalau ntar pensiun, masih ada gelar SMP buat ngelamar pekerjaan, wkwk. Bisa juga sih lanjut sekolah atlet SMA.
Lalu gimana menyiasati 2 kelompok umur tersebut? Ya mau gimana lagi, pakai pelatih asing dari CHINA. WHY? Cek dulu siapa pelatih tunggal dan ganda putri saat ini. Apa mereka juga tidak pantas "disalahkan" atas buruknya prestasi selama tahun 1999-2013 ini? Sudah cukuplah, 14 tahun gitu lho. Tapi tetap kita pertahankan juga pelatih kayak Susy Susanti dan Liang Chiu Sia yang legendaris. Jangan buang-buang lagi bakat pelatih kayak Tang Shien Hu/Tong Sin Fu hanya gara-gara status warga negara!. Nanti setelah itu dibagi 2 tim, 1 tim (tim A) dilatih pelatih Indo tersebut, 1 tim lainnya (tim B) dilatih pelatih asal China. Lalu kita bandingkan prestasi kedua tim itu. Lalu evaluasi setelah 4 tahun (2 tahun pembinaan, 2 tahun prestasi). Liat mana yang lebih berprestasi? Lalu yang terbaik dari masing-masing tim itu nantinya masuk timnas INTI KELAS 1.
Ya, semoga saja usul saya dibaca para pengurus PBSI. Jangan pernah malu untuk belajar dari negara tetangga. Apalagi masih menyangkal bahwa kita yang terbaik 20-30 tahun lalu. Hello? Zaman purba kali. Dulu orang Malaysia belajar ke Indo tahun 1960an, eh sekarang kitanya yang belajar kesana. Kenapa takut pakai pelatih asing? Mungkin mereka punya teknik/metode/pendekatan yang berbeda. Pola kepelatihannya mungkin modern. Itu harus kita pelajari, bukannya tetap ngotot pakai style kita sendiri yang sudah terbukti GATOT di 14 tahun belakangan (khusus sektor putri).
Tapi hanya orang yang mau mengakui kelemahan diri sendiri dan mengakui kelebihan lawan; dan ingin berubah kearah yang lebih baiklah baru disebut KSATRIA. Bukan pemimpi disiang bolong, menghayal akan prestasi-prestasi 30 tahun lalu.
Ganda Campuran : Praveen Jordan/Vita Marissa [CHN] versus Tontowi Ahmad/Liliyana NatsGir [CHN] 22-20 9-21 21-14
Tunggal Putri : Di Suo [CHN] versus Yue Xao [CHN] : 21-12 22-20
Ganda Putra : Ryan Agung Saputro/Angga Pratama [INA] versus Selvanus Geh/Ronald Alexander [INA] 17-21 21-15 21-16
Ganda Putri : Ying Luo/Yu Luo [CHN] versus Dongping Huang/Yi Fan Jia [CHN]19-21 21-15 21-18
Tunggal Putra : Simon Santoso [INA] versus Dionysius Hayom Rumbaka [INA] 21-17 21-11
1 komentar:
Saya mau ikut nimbrung nih..
Kalo dilihat, sejak tahun 2000, atau sehabis eranya susy dan mia, itu praktis tidak ada penerus di sektor WS kita. Selama 13 tahun itu, sektor WS (dgn WD juga) adalah yang terlemah.
Barusan cek di BWF Rank, WS kita ada 6-7 pemain yang sudah masuk 50an besar. Tapi prestasinya mentok. Padahal pelatihnya bukan sembarang, yakni SUSI SUSANTI (asisten) sendiri dan LIANG CHIU SIA (pelatih kepala WS), yang notabene adalah pelatih dari era Susy Susanti cs dulu.
Artinya, memang mentok sudah kemampuan putri-putri di sektor WS kita. Bukan lagi salah model pembinaan, atau salah pelatih, atau salah di ahli gizi/nutrisi, tetapi mungkin memang sudah sampai disitu aja kemampuan mereka. Mau dilatih gaya tentara pun percuma. Malah bukannya maju, bisa tambah mundur kalo dikerasin.
So, eike juga ingin kasih usulan, gimana kalau beberapa pemain pelatnas sektor WS, dikirim ke LN, misalnya ke China, or ke Korea? Ikut program kepelatihan sana. Lihat selama 6-12 bulan. Semoga membantu minimal dari segi mentalnya. Mungkin kalo di pelatnas lokal, terlalu nyaman kali ya? hehe
Posting Komentar