06 Agustus 2009

Kampusku Part I

Benar-benar payah. Kuliah di Universitas Negeri tidak menjamin mendapat pelayanan baik seperti di Universitas Swasta. Egk mau panjang lebar, kemarin sewaktu saya menerima KHS (Kartu Hasil ujian) masih saja masih dipersulit. 4 semester sudah saya merasakan bagaimana sulitnya saat mengambil hasil ujian tersebut (semacam raport untuk anak kuliahan).

Saya pun penasaran, dan mencoba untuk bertanya (membandingkan) kepada teman-teman saya lain yang berada di Universitas Swasta/lainnya. Hasilnya? Mereka yang kuliah di Universitas Swasta (tidak dapat saya sebutkan demi privasi) sudah benar-benar professional. Nilai hasil ujian langsung diserahkan kepada semua mahasiswa begitu semua ujian mid/semester selesai. Caranya, gampang! Tinggal pergi ke pos/bag. tertentu (contohnya sebut saja bag.kemahasiswaan/bag.pendidikan) yang dijadikan sebagai tempat untuk mengeluarkan nilai mahasiswa, lalu paling hanya bayar biaya print outnya (tapi bisa juga gratis), dan selesai. Nilai keluar. Benar-benar mudah dan transparan. Tidak ada kesempatan untuk bermain mata dengan dosen atau pegawai kampus.

Kalau dibandingkan cara kerjanya dengan Kampus ditempat saya kuliah, hhmm, bedanya jauh. Yah memang sih kalo kuliah di swasta bayar mahal, dan kalo di negeri bayar “murah”. Tapi saya ½ menyesal juga kalo caranya gini diperlakukan. Sama aja HAK KITA dibatasi/dihalang-halangi. Menurut saya, khan sudah bayar SPP (biaya kuliah), dll, koq hak untuk MENDAPATKAN HASIL UJIAN saja yang menurut saya sepele malah jadi sulit begini?

Masakan semua hasil ujian harus disuruh ngambil sama dosen wali. Kalo dosen walinya professional sih gpp lah. Misalnya diadakan satu hari pertemuan dengan semua anak asuhnya (mahasiswa), dan langsung adakan acara penyerahan nilai ujian. Simpel aja, dan tentunya semua mahasiswa pun pasti akan senang, karena merasa diperhatikan. Tapi ini anehnya beberapa dosen wali (termasuk dosen wali saya) kalo sudah saat-saat penerimaan ini condong untuk “menghilang”. Biasanya mereka suka titip di kantor jurusan. Tapi saat di kantor jurusan bukannya langsung ngasih, eh malah ditanyain ini dan itu, sudah lapor belum sama dosen wali, dll. Dalam hatiku bergumam, zzz, gimana mo lapor wong HPNYA AJA SENGAJA DIMATIKAN. Bah bah bah!!! Sebentar lagi pasti aka dijadikan “bola ping pong”. Oper kesana suruh kesini. Jadilah saya mahasiswa terlantar.

Cek n ricek (saat si pegawai kantor jurusan menelpon dosen wali saya untuk mengkonfrmasi apakah khs sudah boleh dibagikan kepada anak asuhannya) saya menduga ada konspirasi dibalik itu. Egk tau apa, tapi saya menduga hal ini sebagai “permainan”, dan tentunya untuk mempersulit mahasiswa ybs juga. Egk tau juga apakah sudah JENUH mengasuh mahasiswanya (kalo jenuh yah minta pensi aja ^^), tapi saya melihat hal ini umumnya justru terjadi terjadi ke dosen-dosen senior (tua). Kalo teman-teman saya yang lain ada yang dosen walinya muda (energik) kayaknya lebih enakan. Kalo ditelpon pasti dijawab/diangkat. Nomor pun dikasih lengkap (HP 2 nomor + Telp rumah + alamat lengkap). Egk kayak saya, no Hp dikasih 1, terus nomornya lebih banyak matinya ketimbang hidupnya. Mungkin nomor khusus “layanan pengaduan” kale….haha

Hal ini juga berlaku sama saat akan mengisi KRS (kartu rencana study). Mo minta tanda tangan/persetujuan dosen wali aja koq sama kayak minta tanda tangannya David Becham ya???

Kurasa cukuplah curhatan saya. Harapan saya semoga Universitas Negeri (khususnya di kampus saya) harus berbenah. Profesionallah sedikit. Masa mahasiswa sendiri dipersulit, kayak orang asing/tamu aja, sedangkan tamu aja dilayani dengan baik…

Tidak ada komentar: