Buah jatuh tidak jauh dari pohon nya. Kalau orang tuanya pilot, biasanya anaknya juga akan ada yang berprofesi sebagai pilot juga; tentu dengan pengalaman sang orang tua; dimana dalam hal ini adalah sang Ayah yang ternyata masih bertugas sebagai pilot Aktif; si anak tentu dapat dengan mudah bertanya tentang segala hal dari A-Z sampai hal-hal yang tidak penting mengenai dunia kepilotan sebelum tes dan penerimaan. Ini tentu berbeda jika harus bertanya ke pengajar/pelatih lain karena ada rasa segan dan canggung. Hal ini juga yang mempermudah langkah sang anak untuk lulus tes; tentu dengan background orang tuanya, si anak tentu ada nilai plus dimata para penguji untuk diterima. Tentu dengan harapan agar nantinya kelak anak ini tidak terlalu menyusahkan para pengajar/pelatihnya karena tinggal dipoles sedikit; tidak lagi diajar dari ilmu grass root. Hal ini tentu akan menghemat tenaga dan biaya.
Seperti yang ditulis pada artikel Usia 21 Tahun, Sudah Kantongi 100 Jam Terbang; dimana angkatannya ternyata hanya ada 2 orang yang diterima. Ini bukan lagi faktor skill individu yang dinilai; dimana yang terbaik menjadi pemenang; tetapi juga sudah termasuk faktor X. Pembaca tentu tahu apa yang dimaksud dengan faktor X tersebut apalagi setelah membaca keseluruhan artikelnya. Terbaik dalam tes belum tentu terbaik dalam karir. Untuk mencapai terbaik dalam karir memerlukan seorang yang bisa berperan sebagai "pengasuh private"; secara terus menerus/tidak terputus; dimana dalam hal ini adalah sang Ayah dari si anak sendiri. Tentu dengan profesi sebagai pilot senior yang aktif, bisa dengan mudah "mengatur" jalan sang anak dengan menghubungi relasi nya untuk mendapatkan posisi co-pilot. Hal ini sudah biasa dalam dunia penerbangan Indonesia, dimana tahu sama tahu menjadi pilihan terbaik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar