Di daerahku baru-baru ini dihebohkan dengan adanya kasus mall praktek. Sebenarnya kasusnya sudah lama, terjadi sekitar tahun 2010 lalu. Tapi salah satu pelakunya (dokter) baru ditangkap beberapa hari yang lalu. Sebenarnya kasus ini sudah ada keputusan sejak lama oleh pengadilan. Tapi para dokternya awalnya minta izin lanjut studi/sekolah, tapi ternyata melarikan diri ke luar daerah. Dari 3 dokter yang dinyatakan sebagai tersangka, 2 nya sampai saat ini masih buron. Akibat kasus ini, ratusan dokter di daerahku mogok kerja dan berdemo untuk menuntut keadilan. Peristiwa kejadiannya, 3 dokter muda di tuduh "lalai" dalam menjalankan tugas operasi terhadap seseorang yang akan melahirkan, sehingga mengakibatkan sang ibu meninggal, sementara sang bayi selamat.
Saya sendiri juga sebenarnya enggan berkomentar/kasih statement atas kasus ini. Takutnya ntar jika saya sakit di kemudian hari, eh disuntik mati sama dokternya, hihihi. Banyak tanggapan orang sangat birokratis, seperti serahkan semua kepada pihak yang berwenang, atau pasrahkan saja semua kepada Tuhan. Terlihat juga takut membela dokter, juga takut membela rakyat (pasien). Tapi saya sendiri sebenarnya sudah punya pandangan jauh sebelum nya lewat artikel ini dan Malpraktik, Tanggung Jawab Dokter Atau Rumah Sakit ? Ya, meski tidak terlalu berkaitan juga dengan kasus mall praktik yang terjadi ini. Jadi silahkan pembaca menilai sendiri deh. Yang jelas, kualitas dokter di daerahku memang sangat memprihatinkan, karena sudah masuk media online dan koran lokal, bahkan sampai turut dikomentari oleh MENKES. Seperti ada calon dokter yang sampai belasan kali tidak lulus ujian UKDI; dimana rata-rata adalah lulusan 2010 keatas. Bahkan sampai muncul celetuk di masyarakat "MASUK SEHAT KELUAR MATI".
Memang benar, dokter hanya manusia biasa, hidup ditangan Tuhan. Tapi kalau dokternya tidak punya kompetensi, bukannya itu jelas bisa membahayakan nyawa pasien? Bahkan seandainya kompetensinya cukup, tapi pengalamannya kurang, ya sama saja. Kompetensi (pendidikan, ilmu, konsep) itu KAKU (protap), sedangkan pengalaman itu FLEKSIBEL. Bisa saja ilmu terapan akan berbeda dengan kenyataan saat di lapangan, dan itu membutuhkan kemampuan dokter untuk mengambil keputusan secara tepat dan cepat. Maka keduanya (kompetensi dan pengalaman) harus berjalan bersama-sama. Semoga saja tidak ada kasus-kasus lagi seperti ini. Hak dokter dan pasien sama-sama perlu dilindungi oleh Undang-Undang; terakhir semuanya biarkan hakim yang akan memutuskan. Ya, semoga saja bukan hakim bayaran.
Berita : http://bit.ly/1bQVTwn
NB : Penulis adalah masyarakat awam yang tidak mengetahui ilmu medis secara khusus/mendalam. Pandangan yang keluar adalah bersifat spontan dan subjektif.
2 komentar:
Sudah selayaknya sewaktu awal akan masuk fakultas kedokteran ya mbok ditanya dulu : "Apa motivasi adik untuk kuliah di jurusan kedokteran ini?"
Jangan dulu tes macam2, atau periksa kesehatan, atau sudah disodorkan uang kuliah/sumbangan pembangunan.
Tanya dulu apa motivasinya, kalo cuma pengen cari gelar, atau biar naik derajatnya, atau cuma ingin cari pacar, ya engga usah terima.
Kalo dia bilang "untuk melayani pasien dengan setulus hati dan sekuat tenaga", langsung cap pake materai dan tanda tangan dekannya.
Dokter memang perlu orang-orang pandai, tapi lebih perlu orang-orang yang siap melayani para pasiennya. Kepandaian itu bisa dicari/dididik. Buat apa dokter pandai kalo tak mau mengobati pasiennya?
Saya pribadi juga bingung sob. Kasus ini seperti koin bermata dua. Disatu sisi, jika tuntutan para dokter, yakni tidak diberi hak khusus (kebal hukum), maka pasien (keluarganya) bisa semena-mena untuk lapor polisi-dan mengambil langkah hukum apabila ada tindakan medis yang merugikan mereka. Padahal jelas dokter juga bukan Tuhan.
Tapi disatu sisi, kalau para dokter benar diberi hak khusus, maka ini sama saja melegalkan para dokter ABAL-ABAL yang selama ini banyak berkeliaran, dan tentu saja, sangat merugikan para pasien.
Tapi jelas, dokter juga tidak bisa berlindung dengan status profesionalitas mereka.
Posting Komentar