27 Agustus 2017

Malaysia Menewaskan Indonesia di Menit 87 Pusingan ke 2 Semifinal SEAGAMES 2017

1 gol dari Malysia lewat corner kick sudah cukup memupus harapan timnas Indonesia untuk berlaga di Final. Melihat rekor pertemuan ke 2 Negara ini, dimana masing2 merah 6x menang dan 3x seri, menandakan level sepakbola ke 2 Negara ini sama payahnya (Ranking FIFA dibawah 160).

Lebih baik kalah dari Kamboa daripada kalah dari Negara tetangga kita ini, dafuck.
Hal ini bagaikan penyakit lama Indonesia, dimana PSSI dan suporter selalu berlindung dibalik kalimat :

1. "Gpp asal timnas sudah berjuang dengan semangat, sudah berusaha maksimal",
2. "Gpp timnas kita kurang beruntung saja dsb,

Hal ini terkesan seperti menghibur diri dan cepat puas. Sekali dua kali, bolehlah dianggap kurang beruntung, tapi kalau keseringan itu namanya memang BUNTUNG, alias pea.

Kalau pola pikir seperti itu namanya cepat puas, tidak ada hasil yang didapat sama sekali. Tapi liat progresnya naik apa turun. Ranking FIFA kita juga masih terpuruk menempati 170-an, padahal sudah lebih dari setahun lepas dari sanksi FIFA dan Pemerintah lewat Kemenpora..

Hal ini menandakan bahwa : TIDAK ADA PERUBAHAN APAPUN DENGAN PSSI setelah dibekukan selama 16 bulan, dimana posisi terakhir ranking FIFA kita juga sebelum dibekukan di peringkat 167. So, perjudian Menpora menjadi sia-sia belaka, selama jumlah pemain asing tetap 4, dan kebanyakan pemain asing itu adalah striker.

Video : Bambang Pamungkas juga pernah berkata, percuma PSSI dibekukan (diibaratkan dengan orang yg sedang sakit), tapi setelah sembuh, malah normal kembali seperti dulu, sama saja tidak ada perubahan/perbaikan ke depan.

Hal ini terus terbawa ke level timnas, dimana kita punya stok kiper, bek, gelandang bertahan dan pemain sayap yang cepat, tapi tidak punya striker oportunis yang bisa memanfaatkan peluang untuk menghasilkan gol. Kalau hanya bermodalkan skill cepat, mending sewa saja sprinter cabor Atletik!

Saya tahu, media dan kebanyakan pendukung Indonesia pasti akan mencari alasan dan kambing hitam, seperti :

1. Sejak awal jumlah tim tidak seimbang, dimana grup A hanya 5 Negara; sementara grup B ada 6 Negara, dan Malaysia bebas menentukan grup saat setiap grup sudah terisi 4 negara.

2. Hal ini menimbulkan dampak, yakni Malaysia hanya bertanding 4x di penyisihan, dengan lawan-lawan yang relatif lebih mudah sehingga tidak terlalu banyak menguras tenaga. Berbeda dengan Indonesia yang sudah harus berjibaku dengan Thailand dan Vietnam, dengan bertanding sebanyak 5x.

Apalagi saat melawan Vietnam, dimana stamina pemain benar2 terlihat sudah habis di 20 menit terakhir pertandingan, ditandai dengan roboh berjamaahnya para pemain belakang setelah pemain Vietnam gagal menceploskan gol di menit 81 akibat membentur kaki kiper dan kemudian tiang. Padahal Vietnam jelas menguasai jalannya pertandingan dan melepaskan begitu banyak shot ke arah gawang timnas. Mana lebih sial? Kita atau Vietnam?.

3. Pemberian kartu kuning kepada kapten Hansamu Yama pada pertandingan terakhir penyisihan melawan Kamboja terkesan dipaksakan wasit. Hal ini tentu merugikan mengingat peran centralnya dalam mengomandani lini pertahanan.

Tapi saya tidak mentolerir pemberian kartu kepada Marinus yang terpancing emosinya sampai 2x, saat melawan Timor Leste dan Kamboja, apalagi sampai memamerkan k*ntolnya pada pemain lawan. Pemain ini layak dipertahankan karena bisa berlari sepanjang pertandingan, tapi emosinya perlu diperbaiki.

4. Perubahan jam bertanding, dari sore hari ke malam hari. Malaysia tuan rumah, mereka bisa merubah jadwal dengan alasan lain. Anda sebagai tamu, mau tidak mau harus ikut keputusan mereka, meski dengan resiko DILASER suporter tuan rumah seperi tahun 2010 lalu.

5. Wasit curang dengan tidak memberikan pinalti kepada timnas di menit2 akhir. Ini sebenarnya hanya soal sugesti saja, kalo dari awal pikiran anda sudah terdoktrin untuk selalu mengkambing-congekkan wasit, lebih baik tidak perlu nonton dan main bola. Kalau tiap kali bertanding hanya selalu berharap mendapat hadiah pinalti, tidak pernah bisa mencetak gol lewat open play, yiahh.

6. Indonesia terlalu banyak membongkar pasang susunan dan staf kepelatihan. Bandingkan dengan Malaysia yang kalian anggap maling dan sial itu. Hasilnya jelas, bongkar pasang susunan staf kepelatihan hasilnya lebih jelek ketimbang yang kerap mempertahankan kestabilan.

Daftar pelatih Indonesia, dari en.wikipedia.org
Daftar pelatih Malaysia, dari en.wikipedia.org
Apapun itu, meski hampir semua pemain timnas menangis dilapangan, usai ditewaskan Malaysia pada pusingan ke dua semifinal, sampai2 di tenangkankan/dihibur pemain Malaysia dan official Indonesia, itu tidak akan mengubah pandangan saya bahwa PSSI DIBAWAH KEEPEMIMPINAN TNI MASIH GAGAL membangun timnas yang kuat, selama :

1. Kuota pemain asing masih 4, dengan 90% klub pasti mengontrak/memasang 2 striker asing di depan; dimana hal ini sangat mengurangi jatah bermain pemain2 lokal. Akhirnya, pemain timnas hanya kebagian posisi penjaga gawang, bek dan gelandang sayap yg modalnya hanya kecepatan, tanpa diimbangi kontrol bola dan passing yang baik. Jika hanya mau cari pemain ber-speed tinggi, mending sewa saja atlet cabor atletik, mereka pasti lebih cepat lari & akselerasinya.

Yup, semua klub2 di liga Indonesia terlalu mengandalkan pemain asing buat berjaya. Dengan ditempatinya posisi2 sentral seperti striker, playmaker (gelandang serang) dan bek tengah 90% pemain asing, membuat timnas kita jadi kayak AYAM. Kita cuma kebagian tulang (kiper), dada (gelandang bertahan) dan sayap (bek dan gelandang sayap) saja. hahaha

Awalnya sudah bagus kuota pemain asing cuma 3, eh tau2nya "diatur" sama PERSIB dengan memakai istilah marque player, sehingga sebuah tim bisa memasang 4 orang. Hasilnya pemain marque yg mereka idam2kan gagal total tuh, pelatihnya malah mundur 2x, posisi mereka juga di papan bawah.

Inilah sepakbola PSSI bung! Selama masih dikuasai MAFIA2, timnas tidak akan pernah maju. Ingat, kualitas pemain di LIGA mencerminta kualitas pemain di TIMNAS. Kalau di kompetisi liga, pemain2 lokal hanya menjadi "pelengkap", nah di timnas juga akan terbawa/tercermin begitu. Dipanggilnya Ezra Walian itu sudah bukti nyata bahwa PSSI cari gampang, cari jalan pintas untuk menambal lubang itu.

2. Jangan contoh Tiongkok atau Amerika, basic/fundamental sepakbola mereka sudah maju. Saya setuju dengan pendapat pelatih Alfred Riedl (ex pelatih timnas), yang diwawancarai 3 bulan sebelum timnas bertanding SeaGames; dimana percuma mendatangkan banyak pemain marque player, alias pemain terkenal dunia, jika kondisi ruangan kamar ganti klub saja memprihatinkan, demikian pun dengan kondisi lapangan dan stadion yang buruk, serta pembinaan usia muda yang tidak jelas.

Mengontrak pemain asing di klub dan menaturalisasi pemain asing keturunan Indonesia, BAGAIKAN SEBUAH BENTUK KEPUTUS-ASAAN PSSI, atau JALAN PINTAS YANG DITEMPUH karena gagal menciptakan pemain2 handal lewat liga domestik.

3. Training Center  (TC) berbulan2 pun dirasa tidak efektif. Pemain seperti kehilangan mental bersaing dengan sesama rekannya jika sudah terpilih menjadi pemain timnas. Seharusnya pemain tetap saja dibiarkan bertanding dalam liga, dan nanti dikumpulkan 1 bulan sebelum turnamen dengan mengadakan ujicoba2 berkualitas, bukan dengan tim2 tarkam atau perwakilan propinsi.

Harapannya, paling tidak dalam waktu dekat, PSSI segera mebenahi timnas junior ini agar bisa tampil maksimal di ajang ASIAN GAMES yang akan digelar di Jakarta pada pertengahan 2018. Jangan bikin malu, karena sebagai tuan rumah, timnas U-23 (timnas U-22 yang berganti nama karena usianya bertambah) akan otomatis lolos ke babak penyisihan, tidak lagi lewat qualifikasi.

Saat ini rasanya sudah sulit membongkar rangka timnas saat ini, apalagi dengan waktu yang tersisa < 1 tahun. Jadi tinggal cari saja beberapa pemain yang bagus untuk mengganti beberapa pemain yang dirasa tidak maksimal saat ini. Jika boleh saya menyebut nama :

Sadil Ramdani, Yabes Roni, Gavin Kwan

Ketiganya tidak terlalu menonjol saat SeaGames ini, dan pantas DIGANTI. Sementara sisa pemain dikembalikan ke klub dan tetap dipantau perkembangannya. Khusus untuk Ezra Walian, pemain berdarah Tomohon - Sulawesi Utara, dimana ybs saat ini pasti telah di hujat para suporter timnas di instagramnya, atau lewat twitter PSSI.

Seperti kata komentaror SCTV, pemain ini memang punya shoot baik, tapi kurang dalam hal kecepatan. Banyak yang men-cap Ezra sebagai pemain titipan, pemain jalur ekspres lewat naturalisasi, tapi kualitasnya sama saja dengan pemain2 lokal, tidak ada yg spesial.

Tinggal lihat saja dimana klub selanjutnya si Ezra ini. Jika dia memilih berlabuh di klub lokal, yiahh, nasibnya gak akan jauh berbeda dengan pemain2 naturalisasi gagal lainnya di Indonesia. Skillnya tidak ada berkembang laiknya Kim Jeffrey Kurniawan, atau yang terbaru, Stefano Lilipaty yang bergabung dengan Bali United.

Apalagi usianya masih 20 th, sayang jika saat ini malah bermain di liga Indonesia, yang MAAF, menurut saya masih sekelas liga TARKAM, dibuktikan dengan banyaknya aksi menyerang wasit, dan permainan keras antar pemain ala karate dan kungfu di lapangan. Tercatat, hanya CRISTIAN GONZALES sebagai satu2nya pemain naturalisasi yang paling berhasil di timnas, meski saat direkrut usianya sudah kepala 3.

Wasalam,
dari pengamat sepak bola, meski tidak pernah bermain bola :)

Tidak ada komentar: