10 Agustus 2016

Perhatian Pemerintah Kepada Atlet Meningkat Drastis

Saat ini profesi ATLET di Indonesia sudah sangat dihargai oleh Negara. Tidak seperti dulu, bahkan atlet sekelas Susi Susanti (peraih medali emas olimpiade 1992) pun pernah mengeluh minimnya tunjangan dan perhatian dari pemerintah. Padahal masa jaya atlet hanya 10-15 tahun (memasuki usia 30-an sudah pensiun). Bahkan banyak kasus atlet menjadi tukang sampah, tukang parkir, atau penjual bakso keliling setelah mereka pensiun. Padahal mereka berjasa besar dalam mengharumkan nama Indonesia di panggung olahraga dunia.

Namun seiring dengan membaiknya keuangan Negara, pemerintah mulai serius dalam menangani hal ini. Seperti pada ajang Olimpiade Brazil 2016 tahun ini, pemerintah menjanjikan bonus 5 milyar untuk peraih medali emas, 2 milyar untuk peraih medali perak, dan 1 milyar untuk peraih medali perunggu.  Itu belum termasuk tunjangan hari tua/uang pensiun per bulan (seumur hidup) yang sudah dibagikan tahun ini sebesar 20 juta untuk peraih medali emas, 15 juta untuk peraih medali perak, dan 10 juta untuk peraih medali perunggu.

Baca juga : Tunjangan PERMANENT Untuk Atlet Peraih Medali di Ajang Olimpiade 

Saking besar tunjangannya, bahkan Mia Audina, mantan atlet badminton peraih medali perunggu olimpiade 1996 namun telah pindah ke Belanda tahun 1999 (dengan alasan ikut suami) pun kemarin, 2 Agustus sampai balik mendatangi kantor MENPORA dan ikut minta bagiannya. Namun apakah etis atlet yang sudah pindah Negara minta bagiannya?

Di Indonesia setahu saya sistem dwi kewarganegaraan terakhir tahun 1962; setelah itu seseorang harus pilih salah satu. Artinya jika dia memilih untuk pindah negara, secara status hukum dan hak sebagai warga negara ikut dicabut. Aneh jika seseorang yang sudah berganti kewarganegaraan namun masih menuntut hak di negara yang telah ditinggalkannya.

Baca jugaSudah Pindah Warga Negara, Mia Audina Tuntut Uang Pensiun Atlet

Mia Audina, kembali ke Negara bekasnya untuk mendapatkan hak atlet.
Bahkan negara bekas penjajah Indonesia selama 350 tahun itu pun masih belum mampu untuk mensejahterahkan atletnya. Menurut pengakuan Mia, Belanda tidak memberikan tunjangan hari tua kepada atletnya, melainkan hanya bonus saja. Maaf bukan untuk menghina, namun tunjangan sebesar 10 juta per bulan (hanya sekitar $750 dengan kurs Rp.13.300) rasanya seperti terlalu merendahkan diri sendiri untuk seorang atlet yang telah memutuskan untuk pindah Negara maju sekelas Belanda.

Padahal alasan utama seorang atlet pindah Negara umumnya adalah karena masa depan di Negara barunya lebih terjamin. Banyak kasus seperti ini, misalnya atlet Tiongkok yang pindah ke Hongkong, atau atlet Indonesia yang pindah ke Singapore, Australia atau USA. Karena di Negara baru tersebut dia merasa kehidupannya akan lebih membaik.

Ya mungkin bonus besar ini baru berlaku untuk semua peraih medali di ajang tertinggi Olimpiade (level dunia). Tidak menutup kemungkinan beberapa tahun ke depan akan diterapkan untuk semua peraih medali di ajang Asian Games (level asia); dan Sea Games (level asia tenggara) tentu dengan penyesuaikan jumlah yang sudah pasti dibawah Olimpiade. Mengingat untuk bonus PERMANENT per bulan seumur hidup (tunjangan hari tua atlet) saja pemerintah mengalokasikan dana 6 milyar per tahunnya.

Tunjangan ini bukan dibayar begitu sang atlet memutuskan untuk pensiun (mengingat bisa saja dia mendapatkan medali di usia muda/produktif), namun sudah dibayar sejak tahun pertama setelah ybs mendapat medali di ajang olimpiade. Artinya masih berstatus atlet (aktif) pun kehidupannya sudah dijamin oleh Negara hingga akhir hayatnya.

Namun masih menjadi pertanyaan :

1. Bagaimana jika seorang atlet mendapat lebih dari 1 medali di 1 diajang olimpiade karena ikut dalam beberapa nomor cabang? Mungkin bonus bisa dikasih sesuai dengan jumlah medali (misalnya jika dapat 2 keping emas artinya 5 milyar x 2 = 10 milyar), namun apakah tunjangan permanent ikut dibayar dobel juga (20 juta x 2 = 40 juta / bulan; atau 480 juta per tahun seumur hidup)? Atau hanya diambil dari nilai medali tertinggi (20 juta saja) ?

2. Bagaimana jika seorang atlet mendapat lebih dari 1 medali di lebih dari 1 ajang olimpiade (multi years; beda tahun)? Bonus sudah pasti diberikan, namun apakah tunjangan permanent nya ikut dibayar dobel? Sebagai contoh kasus, Atlet angkat besi Eko Yuli Irawan (1989) meraih 3x medali olimpiade di 3 tahun berbeda, masing-masing medali perunggu di olimpiade Beijing 2008 dan London 2012, serta medali perak di olimpiade Rio 2016. Menurut info ybs akan tetap berlaga di olimpiade Tokyo 2020 meski usianya saat itu mencapai 31 tahun. Jika ybs mendapat medali perak, bagaimana perhitungan tunjangan permanent nya?

Apakah menjadi 10 juta + 10 juta + 15 juta + 15 juta = 50 juta/bulan, atau 600 juta / tahun? Dengan asumsi nilai tunjangannya masih tetap/belum bertambah (ingat, keuangan Negara terus tumbuh setiap lho). Atau hanya mengambil 1 nilai tertinggi, yakni 15 juta per bulan, atau 180 juta per tahun? Ini silahkan ditanya kepada MENPORA.

Belum dari bonus-bonus yang lain, seperti dari :

1. Bonus dari Asosiasi/lembaga yang menaunginya, seperti PABBSI  (atau PBSI untuk badminton).
2. Bonus dari pihak sponsor, seperti produk aparel olahraga atau perusahaan swasta.
3. Hadiah dari turnamen/kompetisi nasional dan internasional, termasuk PON dan Seagames.
4. Hadiah dari perorangan, seperti bonus dari kepala daerah karena telah ikut mengharumkan nama daerah.
5. Dan tentu saja dengan ketenarannya yang seperti aktor/artis, seorang atlet juga bisa mendapat jutaan followers di sosial media; dan itu biasanya dimanfaatkan untuk mencari endorsement untuk mengiklankan produknya.

Yang pasti, kehidupan seorang atlet sekarang tidak akan susah seperti 20an tahun silam (sebelum tahun 2004); dimana perhatian pemerintah sangat minim.

Tidak ada komentar: